Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Nottaker
By : Story Liner
Nottaker, begitulah namaku disebut. Di masa hidupku aku memiliki hobi mencatat. Mencatat apa tanyamu? Mencatat setiap perbuatan buruk orang –orang. Ditambah dengan kemampuanku mengingat kejadian dengan sangat detail, aku didaulat menjadi pencatat nomor satu di dunia yang fana ini. Hingga akhirnya kematian menjemputku, dan ternyata aku diberi tugas menjadi pencatat perbuatan manusia hmm.
“Sudah selesai pengenalannya? Kau melebih – lebihkan pencapaianmu, menyebut dirimu pencatat nomor 1? Sombong kamu nak!” Kata – kata dari гласник mengusikku. Siapa гласник tanyamu? (atau sebut saja Nic, nama sebenarnya) dia adalah malaikat yang mengurusku ketika aku sampai disini, di dunia antara hidup dan mati.
“Seseorang harus percaya diri dengan dirinya sendiri, lagipula kemampuanku adalah fakta kenapa kau protes?” Ujarku membalas celetukkannya
“Kau boleh percaya diri, tapi kau sangat salah besar Not,SALAH BESAR. Pertama kau bukan pencatat nomor 1, kedua kau bilang kau sudah mati tapi sebenarnya kau hanya koma, kau masih memiliki kesempatan untuk kembali ke dunia fana” Ujar гласник
“Oh begitu, lalu tunggu apa lagi? Kembalikan aku ke dunia”
“Tidak semudah itu Not” Balas гласник “Ada ujian yang perlu kau lewati sebelum bisa kembali” гласник menimpali “Kau masih ingat di pengenalan tadi, aku sudah memberimu tugas mencatat perbuatan manusia, lebih tepatnya mencatat perbuatan satu orang saja bernama… Siapa Hayooo Hehehe”
“Ngasih tugas malah bercanda tak jitak juga dirimu Nic”
“Santai, santai Not, nama orangnya beneran Siapa Hayooo Hehehe”
“Mana ada nama orang seperti itu!””
“Jangan tanya saya, tanya sama orang tua atau si authornya” Protes гласник “Nama X Æ A-Xii aja ada apalagi nama Siapa Hayooo Hehehe” Ucap гласник yang menujukan kekesalannya ke Nottaker dan Author (iye maaf).
“Ok jadi tugasku adalah mencatat orang ini kemudian aku bisa kembali begitu kan?” Tanyaku kepada гласник
“Benar sekali” Jawab гласник “Tapi kau akan terus mencatat hingga kau belajar apa yang Sang Pencipta ingin kau pelajari” lanjut гласник dengan raut wajah misterius “Sekarang pergilah, kau harus mempelajari ini sendiri”
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sekarang tugasku adalah mengikuti Siapa Hayooo Hehehe, atau kita sebut Hayo saja. Hayo adalah remaja, masih anak sekolah, 1 SMA. Melalui pengamatanku sejauh ini, Hayo adalah pembohong besar. Ketika guru meminta tanda tangan orang tuanya di lembar ujian Hayo yang nilainya Kecil, Hayo memalsukan tanda tangan orang tuanya. Ketika Hayo diberi surat oleh BK untuk memanggil orang tuanya, yang datang malah sopirnya yang menyamar jadi orang tuanya (dan nggak ketahuan!). Hayo juga tidak setia ke pacarnya, bilangnya cuma sayang pacarnya seorang, eh ternyata punya selingkuhan di sekolah lain. Kalau yang aku catat dari ucapan Hayo sendiri, dia ingin punya pacar dari 10 sekolah berbeda dalam waktu bersamaan. Benar – benar keterlaluan. Jika aku harus menulis semua yang aku catat maka akan terlalu panjang cerita ini (mungkin perlu kuceritakan dia pernah menipu guru kimianya hingga nilai ulangannya dari 20 menjadi 75 sehingga nggak jadi remedial).
Suatu hari Hayo mengikuti retret disekolahnya. Sepertinya kebaktian di retret sekolahnya sangat menyentuh hatinya sehingga Hayo bertobat. Hayo mulai mengakui kesalahannya ke orang tuanya, tentu dia dimarahin habis-habisan dan aku bahkan salut dengan keberaniannya untuk mengaku. Hayo juga menceritakan penipuannya ke Guru BK. Untungnya Guru BK tidak memarahinya dan malah mengapresiasi kejujurannya (tapi aku masih bingung kok bisa ketipu sama supir). Pengakuan ke pacar dan selingkuhan – selingkuhannya cukup berakhir tragis. Tak hanya diputusi, Hayo juga menerima 10 tamparan di pipi kanan dan 10 tamparan di pipi kiri. Aku rasa hukumannya masih kurang tapi ya sudahlah. Sepertinya aku sudah mempelajari sesuatu, saatnya memanggil гласник!
“Hei Not, apakah kau sudah mempelajari sesuatu setelah mengikuti Siapa Hayooo Hehehe?” Tanya гласник
“Ya aku sudah mempelajari sesuatu yang sudah aku tahu sebenarnya” Balasku dengan bangga
“Hooo sombong ya, katakan apa yang sudah kau pelajari Not?” Tanya гласник menantangku
“Mudah sekali, bahwa setiap orang ada kesempatan untuk bertobat, ya walaupun menurutku dia belum mendapat hukuman yang setimpal”
“Hahaha sudah sombong salah lagi, ya jawabanmu memang hamper benar tapi bukan itu”
Aku mulai berpikir keras, apa jawabannya? Bukankah jawabanku itu adalah jawaban sebenarnya? Aku mencoba mencari jawaban yang lain.
“Umm… tidak boleh selingkuh?” Tanyaku ragu – ragu
“Ya memang tidak boleh selingkuh, tapi jawabanmu sudah melenceng jauh dari jawaban yang diinginkan” Jawab гласник
“Errr… tidak boleh memalsukan tanda tangan?” Tanyaku masih ragu – ragu
“Kurang tepat, masih melenceng jauh, sepertinya kau masih perlu mencatat lagi”
Aku mulai frustrasi. Apa jawabannya??! Dalam rasa frustrasiku kukoyakkan catatanku tentang Hayo. Namun aku melihat гласник tersenyum. Apa dia tersenyum karena aku gagal, atau jangan – jangan?!
“Yang Sang Pencipta inginkan aku pelajari adalah untuk… membuang catatan ini? Untuk tidak mencatat perbuatan Hayo?” Tanyaku ragu – ragu, ini adalah kesempatan terakhirku
“Ya kau benar, selamat Nottaker kau berhasil”
Aku tak percaya ternyata jawabanku benar, namun aku masih penasaran akan penjelasannya.
“Nic bisakah kau jelaskan padaku?”
“Aku suka gaya bicaramu sekarang, tidak sombong lagi” jawab гласник “Terkadang kita berpikir kita sudah mengampuni, namun di lubuk hati terdalam kau masih mengingat – ingat kesalahan mereka dan tidak mau berdamai dengannya.” Lanjut гласник “Aku tahu kau memiliki ingatan yang bagus Not, yang membuatmu masih mengingat kesalahan – kesalahan orang di masa lampau, jangan ungkit – ungkit lagi Not, sama seperti Sang Pencipta yang tidak mengingat ingat kesalahan manusia yang bertobat sepenuh hati, perbuatlah demikian Not”
“Itu adalah hal yang sulit Nic” Balasku
“Ya itu adalah hal yang sulit, tapi tidak mustahil karena Sang Pencipta akan menyertai. Saatnya kembali ke awal Not, menghapus semua catatan dan membuka lembaran yang baru” Ucap гласник
Hari ini aku mempelajari sesuatu, untuk mengampuni dengan tidak mengingat – ingat lagi pelanggaran orang kepadaku. Berat rasanya tapi tidak mustahil. Beginilah kisahku, jika ingin kurangkum maka ada beberapa hal yang bisa diambil:
1. Mengampuni kesalahan dengan menghapus catatan –catatan keburukan, memulai dari awal membuka lembaran baru
2. Jangan memalsukan tanda-tangan
3. Jangan selingkuh, setia sama 1 pasangan aja.
4. Tolong ya kalau kasih nama jangan aneh – aneh! (iye maaf)
FIN
Nanti Kucingku Cerita Tentang Hari Ini
By : Story LinerDua Sisi Koin : School Life
By : Story Liner"Masa paling indah .... adalah masa di sekolah"
.
.
.
.
Selesai juga pelajaran Fisika hari ini. Walaupun Cuma praktik Fisika tetapi tetap saja menguras tenagaku. Entah tadi benar atau salah, aku telah menyelesaikan tugasku. Saat berjalan kurogoh kantongku untuk mencari koin keberuntunganku. Tetapi setelah beberapa menit, aku tetap tidak menemukannya. Dengan panik aku terus mencari dan mencari. Aku pun kembali menyusuri jalan yang telah kulalui sebelumnya.
Sekeras apa pun usahaku aku tetap tidak dapat menemukannya. Aku pun terdiam dan tak tahu apa yang harus kuperbuat. Tanpa sadar aku terduduk di koridor depan kelas, tak berani masuk ke kelas karena ada Anna di dalam. Aku tidak berani menemuinya. Aku takut untuk mengakui bahwa aku kehilangan benda berharga dari lambing persahabatan kami. Akhirnya seseorang membuka pintu.
“Levi? Sedang apa kau duduk disitu? Pelajaran selanjutnya akan dimulai. Ayo kita masuk ke dalam kelas”.
Aku tidak berani menjawab perkataannya apalagi menatapnya. Aku masih tetap pada posisi yang sama. Tiba-tiba guru yang akan mengajar di kelas kami muncul dan memintaku untuk masuk ke dalam kelas. Aku pun menuruti perintahnya dan duduk di dalam kelas, tetapi aku masih tidak berani untuk menatap Anna yang duduk disebelahku.
Bel pulang sekolah pun berbunyi. Anna yang sedari tadi tidak kuacuhkan tiba-tiba menarik tanganku dan berbicara kepadaku, “ Levi, kau kenapa sih? Apakah aku telah berbuat salah kepadamu? Jawab aku. Kumohon”. Dia mengucapakan kata-kata itu dengan muka yang sangat memelas sehingga akhirnya aku mengakui bahwa aku telah menghilangkan benda berharga baginya. Koin berharga itu.
Aku telah bersiap-siap jika dia ingin memarahiku atau bersikap buruk kepadaku. Tetapi saat aku melihat ke arahnya dia hanya tersenyum kepadaku. Aku pun heran melihat sikapnya.
“Jadi hanya karena koin itu hilang kau pikir persahabtan kita akan hilang?”, kata Anna. Aku pun hanya menganggukkan kepala untuk menjawabnya.
“Levi, Levi. Kamu ini bagaimana, sih?? Kau tidak mengerti arti koin dariku itu ya? Maksudku itu adalah sebagai simbol persahabatan kita. Ingat, hanyalah simbol. Bukan berarti jika koin itu hilang maka persahabatan kita berakhir. Kau ini”
Aku pun terperangah mendengar ucapannya itu. Benar juga. Aku begitu bodoh. Tidak berarti jika koin itu hilang maka persahabatan kami juga hilang. Anna mengartikan koin itu sebagai diriku dan dirinya. Dua kepribadian yang berbeda dengan sisi yang berbeda. Bila disatukan tidak akan bisa dipisahkan, sama seperti persahabatan kami. Aku pun tersenyum kepadanya dan berjanji tidak akan bersedih untuk hal-hal yang sepele seperti tadi. Akhirnya kami berdua pun berjalan bergandengan tangan menuju ke luar sekolah bagaikan dua sahabat yang tak terpisahkan.
“Apaan sih Levi? Kembalikan handphoneku, sekarang!!!” Dengan nada membentak Anna menyerukan kalimat itu dan langsung menarik kembali handphone yang tadinya ada di genggamanku.
Aku berpikir ada yang aneh dengan Anna.
“Ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku, tapi apa itu?”
Aku yang bertanya-tanya apa yang sebenarnya dia sembunyikan malah di tinggal pergi oleh Anna yang menghilang sekitar 30 detik yang lalu. Aku yang menyadari hal itu langsung berlari keluar kelas dan mencari dimana keberadaan Anna.
“Benar-benar ada yang aneh, kenapa dia harus pergi meninggalkan kelas tanpa sepengetahuan diriku?”
Aku yang sangat kesal karena tidak dapat mengetahui keberadaan Anna dimana, pada akhirnya harus merelakan pulang sendiri kerumah tanpa Anna. Rasa penasaranku sangat besar pada saat aku sampai di depan gerbang rumah Anna. Rumahku dan Anna memang tidak terlalu jauh hanya berbeda dua rumah karena itu kami selalu pulang bersama.
Dengan keraguan aku menekan bel rumah Anna dan tidak sabar untuk bertemu dengan Anna. Tapi ada satu hal yang mengganjal diriku bagaimana jika Anna belum ada di rumah?
Pikiran-pikiran aneh mulai mengitari kepalaku dan akhirnya pembantu Anna Bik Ina keluar untuk membukakan gerbang. Aku pun secepat kilat bertanya
“Bik, apakah Anna sudah pulang?”
Bik Ina menjawab “Belum mas Levi, Non Anna belum pulang dari tadi”
Akhirnya pikiran-pikiran aneh yang dari tadi telah mengelilingi kepalaku pun makin bertebaran. “ Kenapa dia belum pulang” bisikku.
Akhirnya aku pun berpamitan dengan Bik Ina dan langsung menuju rumahku. Sesampainya aku di kamar, aku langsung membuka sepatu dan seragamku. Tanpa embel-embel aku pun langsung mencari tempat tidur dan duduk untuk berpikir.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku begitu mencemaskan Anna?” Sambil terus berpikir aku pun bergumam “Apa ini yang dinamakan perasaan cemas?”
“Tapi ini baru pertama kalinya aku terlalu mencemaskan Anna”
“Kenapa pikiranku tak dapat lepas darinya? Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya?”
Sambil membenamkan kepalaku diantara kedua tanganku aku pun berteriak, “Bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk pada Anna? Aku kan adalah sahabatnya dari kecil, Apa yang bisa ku jawab pada papa dan mamanya Anna?
Tiba-tiba telepon selulerku berbunyi . Aku yang masih terus berpikir tentang Anna menjawab telepon masuk itu dan ternyata yang menelepon itu adalah … Anna?
“Levi, tenang aku tak apa-apa. Aku menelponmu karena aku ada di Pondok Sejahtera. Bukannya hari ini kau, aku dan Steven janji buat tugas sama-sama? Tadi aku pergi dulu cari barang.”
Perasaan tenang langsung menjalar ke seluruh tubuhku. Lega rasanya tahu dia aman, namun ada sesuatu yang ia sembunyikan. Aku yakin itu, karena sangat jelas dari suaranya. Tapi, kuabaikan hal itu kali ini.
Aku pun sendiri lupa akan janji yang telah kubuat. Aku berjalan ke Pondok sejahtera yang kira kira 500 m dari rumahku.Pondok Sejahtera merupakan restoran yang biasanya jadi tempat belajar kelompok Anna dan diriku. Sambil berjalan aku menelpon Steven untuk datang dan rupanya ia sudah di bersama Anna di pondok.
Saat sampai ke pondok, aku langsung masuk dan melihat Steven dan Anna telah duduk mengerjakan tugas. Aku mendatangi mereka dan melemparkan tasku ke kursi, sebelum duduk di samping Anna.
“Lain kali kalau kau mau pergi, beri tahu aku dulu. Aku sempat khawatir dan ke rumahmu tahu tidak?”
Anna mentapku dengan heran, “Levi, kau bukan ayahku jadi kau tak bisa mengaturku. Selain itu, kau yang membuat janji bukan aku, ingat?”
Aku memegang belakang leherku menatapnya dengan malu, “Yah, maaf, deh. Aku lupa. Tapi, kalau kau mau ke pondok kenapa tak berangkat sama-sama? Kita bisa mampir dulu kau tahu?”
Anna menggeleng tak setuju, “Aku cuma ada urusan sebentar.”
“Tapi,” lanjutku namun Anna menatapku tajam dan membuatku mengurungkan niatku. Steven hanya melihat kami dengan heran sebelum kembali mengerjakan tuganya. Aku mengeluarkan buku tugas dan mulai mengerjakan PR.
“Jadi?” ulangnya dengan nada yang kugunakan. Kami hanya terdiam memandang satu sama lain. “15,” sebutnya dengan senyuman ia coret angka 15 di kertasnya.
“18, BINGO! Aku menang. Rasakan itu Anna,” teriaku sambil berdiri merayakan kemenangkanku bermain Bingo melawannya. Ya, bingo. Anna dan aku sedang duduk di kelas bermain bingo bersama bertiga dengan Steven. Steven hanya memandangiku sambil mengangkat alisnya.
“Ahh, kau curang,” tuduhnya sambil menyipitkan mata menatapku.
“Bagaimana kau bisa bermain curang di Bingo, Anna?” tanyaku dengan nada kemenangan.
“Akui saja kau memang tak bisa bermain.” Aku tertawa menatap muka masamnya. Steven tertawa bersamaku melihat tatapan dingin Anna ke kertasnya. Sudah dua jam kami mengerjakan tugas atau lebih tepatnya aku bermalas-malasan, mereka mengerjakan tugas. Aku? Aku tinggal menyalin.
“Sudahlah Levi. Nanti kau tak diperbolehkannya menyalin PR, lho.” Steven berkata sambil dan tertawa melihat reaksiku yang langsung terdiam mendengar ucapannya. Anna menatapku dengan tatapan kemenangan dan dengan dramatis menutup bukunya untuk menyimpannya.
“Maafkan aku, Anna. Kau yang terbaik,” ucapku dengan tersenyum polos menatapnya. “Ayolah, jangan begitu. Jangan dengarkan, Steven,” lanjutku saat ia memasukkan barangnya ke dalam tas dan menatap tajam Steven yang berusaha keras menahan tawa.
“Anna kan cantik, baik, pintar, maafin aku ya,” rayuku agar ia meminjamkan bukunya. Aku kedipkan mataku berkali-kali dengan harapan ia mau menyerah.
Anna menatapku dengan geli dan berkata, “Tidak.”
“Tapi…”
“Buat sendiri. Aku pulang dulu. Aku mau masak. Ayahku malam ini pulang dari dinas.” Anna bangkit berdiri dan mendukung tasnya.
“Tapi, Anna. Kau tega kepadaku? Teman baikmu ini?”
Aku menatapnya dengan penuh harap. Ia hanya menatapku tanpa ekspresi sebelum berkata, “Ya, sampai jumpa, Levi, Steven.” Anna berjalan kearah pintu keluar,. Steven tertawa melihatku yang langsung kecewa mendengar ucapanya.
Aku menatapnya dingin dan berkata, “Ini semua salahmu,” dengan nada menuduh. Ia mengangkat kedua tangannya seperti tanda menyerah.
“Aku tak melakukan apapun. Salahmu sendiri tak mau langsung menyalin.”
“Sekarang harus menyalin di sekolah karenamu,” gerutuku sambil melemparkan pensilku ke arahnya.
“Aku ragu kau bisa bangun pagi untuk membuat PR di sekolah,” ucapnya sambil tersenyum. Aku mengerang mendengar itu. Pagi dan Levi bukan teman baik. Setiap pagi aku bertanya-tanya mengapa sekolah harus dimulai jam 07.00 dan bukan lewat pukul 09.00. Apa mereka tak pernah membaca bahwa seseorang membutuhkan waktu tidur delapan jam? Atau itu enam jam? Entalah, aku tak peduli yang penting aku benci pagi.
“Jadi kau dan Anna?” Tanya Steven tiba-tiba.
“Aku dan Anna?” tanyaku heran kepadanya.
“Kalian pacaran?” tanyanya sambil tersenyum lebar sambil menyenggol bahuku berkali-kali. Oke, dia mulai menjadi menakutkan.
“Pacaran? Nggak, kok. Aku itu milik semua wanita, “ ucapku sambil mengibaskan rambutku menekankan maksudku, lalu melanjutkannya dengan berkata, “Lagipula, kami itu lebih seperti saudara.”
“Levi, sahabatku,” Steven merangkul bahuku dan menggeleng-gelengkan kepalanya, “Kau lebih buta daripada orang buta.”
************************************************************************************
“Aku mau cerita sama kamu Lev, hahaha” ucap Anna dengan nada yang sangat gembira. Senyum tak berhenti-berhentinya merekah di mukanya.
“Mau cerita apaa? Cerita aja, kayaknya kamu lagi happy banget hari ini? Cerita-cerita dongg.” Levi yang tidak tahu bahwa cerita tersebut akan sedikit mengejutkan dirinya dengan tidak sabar menunggu serangakian cerita yang akan meluncur dari bibir kecil sahabtnya itu.
“Gini Lev, kemarin kan aku pulang bareng sama Steven. Nah, dia ngajakin aku makan bareng. Ternyata Steven itu so sweet banget loh Vi, hahahah. Nggak kayak kamu, ahhaha.”
Mendengar ucapan Anna, Levi berpura-pura kesal dan mengacak rambutnya Anna yang terurai panjang dan lembut. Entah mengapa, mendengar ucapan Anna, Levi tidak senang sama sekali dan malah merasa sedikit kecewa.
“jadi kamu seneng jalan bareng sama Steven?” balas Levi sambil memandang Anna dengan tatapan mengintrogasi.
“Seneng dong, kayaknya aku tertarik deh sama dia. Ahhaha. Dia baik sih, ganteng, pinter lagi, ahhaha.” Jawab Anna dengan ekspresi yang berbunga-bunga.
Mendengar jawaban Anna yang begitu polos dan begitu gembira, Levi hanya bisa diam dan menyantap makanannya. Anna terus menunggu tanggapan dari sahabat kecilnya itu. Ia mengira sahabat kecilnya ini juga akan ikut gembira dan alngsung menawarkan bantuan. Namun pada kenyataannya Levi hanya diam. Anna yang merasa geram karena merasa dicuekin mulai menegur Levi dan membangunkan Levi dari lamunan diamnya.
“Heii, kamu cuekin aku yaa?”
“Nggak kok, aku cuma lagi makan, hahaha, kamu nggak makan?”
“Makan kok, tapi kamu kasih ke aku komentar kamu dulu dong. Jangan-jangan kamu cemburu ya sama Steven?” Anna memandang Levi dengan tatapan jahil yang membuat Levi tersedak kuah bakso yang sedang ia coba untuk telan. Anna dengan sigap langsung menyodorkan minuman Levi yang ada di depannya.
“Tadi kamu bilang apa? Cemburu? Kamu ngelawak ya? Hahahah. Nggak usah aneh-aneh deh, ahhaha. Cepet makan baksonya, bentar lagi bel loo. Dasar anak kecil.” Levi merasa aneh dengan perasaannya sendiri, jadi dia mengakhiri pembicaraan mereka berdua dengan makan bersama dan sekali-kali Levi akan mengacak poni Anna karena gurauan Anna membuat Levi gemas. Levi berhenti dan menatap Anna yang sedang menyantap baksonya dengan lahap.
“Kenapa aku kayak gini yaa? Apa aku cemburu, seperti yang Anna bilang? Tapi aku dan Anna hanya seperti kakak dan adik. Ya kan? Iya betul, aku dan Anna hanya sekadar kakak beradik, tak ada yang lebih. Ingat itu Levi.” Gerutu Levi dalam hati. Dia pun memukul-mukul pelan kepalanya untuk menyadarkan dirinya. Tiba-tiba terngiang kata-kata Steven waktu itu. ‘Levi, kau lebih buta dari pada orang buta.’ Apa sebenarnya maksud dari kata-kata itu? Levi masih belum menyadarinya.
Hari berganti,Anna dan Steven pun makin sering terlihat jalan berdua.Hal tersebut tentu membuat Levi gusar.Ada rasa cemburu dalam hatinya.Namun,apadaya Levi melihat semua itu,di satu sisi ia berpikir bahwa ia seharusnya bahagia melihat Anna tersenyum ceria bersama Steven.Tapi di satu sisi ia merasa ada sesuatu perasaan yang membuat hatinya perih,perih karena bukan dirinya yang ada di posisi Steven.Rasa itu terus menghantuinya siang dan malam.Levi pun sekarang sering melamun dan bertanya pada dirinya sendiri 'Mengapa hati ini perih ? Mengapa tiada pergi juga perihnya ?'
“Mungkin aku harus bertanya pada Steven pas istirahat nanti kalau soal ginian kan,dia ahlinya” Levi pun memutuskan untuk berkonsultasi pada Steven,orang yang sangat ahli dalam soal hubungan psikologis hingga hingga banyak orang yang berkonsultasi padanya.
"Steven, aku ingin tanya sesuatu padamu " Tanya Levi dengan nada penuh harap bahwa Steven akan memberikan solusi
"Ya Levi,biar kutebak,kau ingin bertanya tentang perasaanmu terhadap Anna " jawab Steven dengan penuh percaya diri
"Umm bagaimana kau tahu ?" jawab Levi dengan raut muka gugup kemerah-merahan
"Semua itu terlihat dari raut wajahmu,akhir-akhir ini kau sering termenung,dan aku lihat,kau melihat Anna dengan pandangan yang berbeda" "Ya, Steven. Mungkin kau benar" ujarku dengan nada lesu. "Apakah kamu merasakan sesuatu yang tak biasa?" tanya Steven dengan tersenyum jahil. Aku memegang kepalaku dengan dua tangan, berharap kebingungan yang melanda akan hilang. "Levi!" teriak Steven menyadarkanku dari lamunan. "Eh? Kau bicara apa tadi?" tanya Levi keheranan. "Dasar, Levi! Kamu merasakan sesuatu yang aneh atau tak biasa? Berkaitan dengan Anna?" tanya Steven lagi. "Uhm...iya nih. Oh iya, kamu suka Anna ya? Sepertinya akhir-akhir ini kalian terlihat dekat." tanyaku tanpa berpikir panjang. Steven diam sesaat dan hanya tersenyum. Sungguh, aku tak mengerti maksudnya. "Kau masih lebih buta daripada orang buta." ujar Steven. "Maksudmu apaan sih? Aku benar-benar tak mengerti. Mengapa banyak hal yang tak dimengerti akhir-akhir ini?" tanya Levi kesal. "Levi,coba ceritakan mengenai perasaanmu ke Anna." jawab Steven tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan Levi sebelumnya.
"Entahla, Steven. Aku rasa akhir-akhir ini aku merasakan cemburu. Ya, mungkin itu namanya cemburu. Saat aku melihat kamu dan Anna jalan berdua, hatiku seperti tersayat dan panas. Jujur, saat itu aku merasa cukup kesal." cerita Levi dengan nada pelan. "Jika engkau menyukainya, tentunya kau harus berusaha." ujar Steven dengan mimik wajah serius. "Apa maksudmu? Aku menyukai Anna? Mungkin itu hanya cemburu sebagai sahabat, bukan cemburu yang berbau hal lain." jawabku berusaha membela. "Levi, percaya atau tidak, aku rasa kau menyukai Anna." ujarnya dengan senyuman tipis. "Tapi..." Belom sempat aku menyelesaikan kata-kataku Steven malah pergi dan berteriak "Aku pulang ke kelas dulu ya,!". Dasar Steven! Aku sungguh belum puas bercerita dengannya. Aku menatap Steven yang terus menjauh sebelum akhirnya hilang tak terlihat lagi.
Cuaca sekarang tampak tidak baik. Awan gelap seperti beramai-ramai datang ke tempatku berada. Tangisan dari langit setetes demi setetes membasahi bumi. Sepertinya, langit juga sedang bersedih. Sama sepertiku.
Seperti biasa hari Rabu dan Sabtu teman karibku dari eskul yaitu Rangga,Joe,Freza, dan Leo, selalu mengajakku bermain futsal tiap pulang sekolah dan ini hari Rabu . Itu adalah hal yang sulit kutolak. Bermain futsal adalah cara yang ampuh untuk menjernihkan pikiranku dari kejenuhan belajar seharian di sekolah. Walaupun aku tidak pandai dalam hal akademik, aku cukup berbakat di non-akademik seperti menggambar,seni musik dan olahraga terutama futsal . Aku selalu menjadi pemain andalan di timku. Anna pun sangat mengagumi bakatku itu. Wajahnya sangat berseri-seri melihatku menggiring bola, melewati musuh-musuhku, dan mencetak gol. Wajah yang sangat bertolak belakang ketika melihatku mengerjakan soal fisika.
"Levi, kamu tolong pergi ke minimarket di dekat rumah kita ya lalu tolong belikan kecap asin ya, ibu membutuhkannya untuk menyiapkan makan malam kita". "Hei nak, kamu dengar tidak?" Ucap ibuku sambil menyenggol halus perutku, eh iya iya ma segera kulakukan. Aku pun mulai beranjak ke mini market tersebut, ibu salah jika bilang tempat itu adalah tempat yang dekat, ak menghabiskan 15 menit untuk berjalan kaki kesana pikirku. Setelah sampai ke minimarket tersebut, ak segera beranjak menuju stand makanan dan mulai mencari kecap.
Aku mulai berpikir, tadi mama menyuruhku membeli kecap apa ya? Manis atau asin ya? Ucapku dalam hati. Aku tidak terlalu memperhatikan perkataan ibuku tadi. Ya sudah, aku beli saja keduanya pikirku. Lalu aku juga mengambil beberapa snack kesukaanku namun seketika itu juga nampak sesosok yang kukenal berjalan melewati pintu depan minimarket. "Itu......... Steven dan Anna bukan? Apa yang mereka lakukan berdua?" Ucapku dalam hati yang tak habis pikir akan hal tersebut, segera kubayar barang belanjaanku lalu pulang sesegera mungkin. "Ibu pasti sudah menantikanku, aku harus cepat segera pulang", aku terus memikirkan kata-kata Steven, dan mengingat mereka berdua yang tengah berjalan tadi. Kembali kumerenung.
"Kamu harus berusaha" ingatku akan ucapan Steven tadi, maksudnya apa sih pikirku. Apaaa? Apa yang ia maksud berusaha mendapatkan hati Anna? Atau berusaha bersaing dengan Steven? Banyak pertanyaan yang tak terjawabkan dan mulai muncul di benakku sekarang.
"Iya, Levi. Sebentar. Mama lagi di dapur"
Beberapa menit kemudian, pintu rumah dibukakan.
"Ini, Ma.", sambil menyodorkan kantong minimarket berisi kecap asin dan kecap manis. Aku juga mengambil beberapa makanan ringan yang masih tertinggal di dalamnya.
"Levi, kok kamu beli kecap manis juga?"
"Iya, Ma. Aku lupa mama menyuruhku membeli kecap yang mana.", ujarku sambil menaiki tangga.
"Kamu ini seperti orang yang sedang jatuh cinta saja. Jadi lupa segalanya.", ujar mama sambil tersenyum.
Kata-kata mama tadi mulai menjalari pikiranku. Benarkah aku jatuh cinta? Sejenak, aku terdiam membatu di tangga. Mama masih memandangiku dari dapur.
"Kenapa belum naik, Nak?", ujar mama kebingungan.
"Ehmm iya, Ma. Levi naik sekarang.", ujarku sambil memegangi kepala.
Sesampainya di kamar, aku menatap Loki, anjing Pomeranian kesayanganku. Tatapanku kosong karena masih membayangkan wajah Anna. Tiba-tiba, ponselku berdering. Itu BBM dari Anna.
Besok harinya, tidak seperti biasanya aku bisa terbangun pukul 6 pagi. Setelah mandi dan sarapan, aku pun bergegas pergi ke sekolah, tidak sabar dengan hal apa yang ingin dia diskusikan. Setelah jam pertama dimulai, aku baru sadar kalau hari ini Anna absen dari sekolah. Hal itu menambah rasa curigaku atas "sesuatu" yang direncanakan Anna.
Pada jam istirahat, kembali handphoneku berdering. Ternyata ada satu pesan singkat lagi dari Anna. Dia memastikan bahwa aku benar-benar akan bertemu dengannya. Pesan itu kubalas singkat dengan kata "Iya".
Detik-detik terakhir sebelum bel pulang sekolah terasa sangat membosankan. Ditambah lagi dengan monolog dari guru pelajaran yang bahkan kutak mengerti apa yang dijelaskannya. Kutatap terus jam dinding di atas papan tulis, menunggu waktu ini tiba.
Akhirnya, bel pulang sekolah pun berbunyi juga. Aku langsung pergi ke kantin di bawah sekolah. Di bawah ternyata telah menunggu Anna dan Steven yang membawa satu kotak besar. Apakah gerangan isinya?
Tiba-tiba Anna dan Steven berteriak bersama-sama, "Kejutan!", sambil membuka kotak tersebut. Ternyata itu adalah kue ulang tahunku.
"Kami memang sengaja absen hari ini untuk mempersiapkan hal ini. Kue ini kami buat sendiri lo, khusus untuk kamu.", kata Anna. Steven menambahkan, "Apakah kamu lupa kalau hari ini hari ulang tahunmu?"
"Iya nih, hehehe. Akhir-akhir ini aku sedang sibuk membuat tugas yang menumpuk sehingga ulang tahunku saja terlupakan." Anna dan Steven kompak tertawa.
Perayaan ulang tahun lalu dilanjutkan dengan prosesi meniup lilin dan memotong kue ulang tahun. Tak lupa kuucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada mereka. Di dalam hati, aku minta maaf pada mereka karena kemarin telah berprasangka buruk.
"Aku melihatnya terjatuh ketika kau ingin memasukkannya ke kantong saat menuju lab. fisika tempo hari,awalnya aku ingin mengembalikannya namun Anna menyuruhku untuk tidak mengembalikannya sampai ulang tahunmu,makanya lain kali kalau jadi orang jangan teledor hahaha" sindir Steven
"Amplop apa ini?", jawabku penuh tanya.
"Buka saja sendiri hehehe.", jawabnya sambil tertawa kecil.
Betapa terkejutnya aku melihat isi amplop itu.
Mengapa banyak foto kami?
"Oh! Ada surat di dalamnya!", kataku spontan.
Air mata ku menetes sedikit. Aku langsung berdiri dan berkata "Aku harus menemui Anna"
Langsung ku ambil ponsel ku dan bergegas menelepon Anna.. berkali kali aku menelpon tetapi tidak tersambung.. hanya ada suara "nit nat nut" yang kudengar. Jantungku semakin berdebar kencang.. setelah ku telpon beberapa kali akhir nya anna mengangkat telpon ku..
Aku pun langsung berkata "hai Anna"
ia menjawab "hai Levi.."
"Aku telah membaca suratmu Anna. Sebenar nya aku sedikit cemburu "
"Cemburu dengan siapa Levi"
jawabku "Aku cemburu melihat kau sangat dekat dengan Steven"
Anna menjawab "Asal kamu tahu Levi aku sangat menyayangimu ,aku dekat dengan Steven karena aku suka bercerita dengan nya tidak lebih"
aku pun spontan bertanya "Siapa yang kau ceritakan ?"
Ia menjawab "Kau Levi.."
aku agak terkejut dengan jawabannya, lalu ia melanjutkan pembicaraan nya "Aku suka curhat dengan Steven tentang dirimu yang semakin lama semakin menjauhi aku Levi emangnya aku ada salah apa ?"
Aku belum sempat membalas nya tetapi ia langsung menutup telpon nya.
Aku pun bergegas pergi kerumah nya,namun sebelum aku sempat pergi ibuku mencegatku
"Mas, nasi dan chicken teriyakinya satu. Bungkus ya. Berapa, Mas ?"
"Semuanya Rp.47.000,00 Mas"
Setelah kubayar aku pun langsung naik ke mobil. Lalu aku mampir ke toko coklat dan ku beli sejumlah coklat vanilla kesukaan Anna. Aku melanjutkan perjalananku ke rumah Anna. Sesampai nya di sana hatiku agak terguncang dicampur kecemasan dan keringat dingin. Aku mengetuk pintu rumah nya dan Anna pun keluar aku mengatakan "Hai" kulihat dirinya sedikit gugup
"Ayo masuk Lev.."
"Hmmm aku mau meminta maaf selama ini sikap ku agak berbeda"
"Ia gak apa apa udah aku maafin kok"
"Ini aku bawa makanan kesukaan kamu"
"Wah beneran nih ? Maaf ya ngerepotin"
"Ia gak apa Anna" dengan tersenyum
"Ini aku juga membawa beberpa tugas untuk kita kerjakan"
"Yuk, kita kerjakan"
kami pun mengerjakan tugas itu , di tengah tengah pengerjaan tiba tiba Anna memolet muka ku dengan coklat yang tadi ku beli. Aku pun membalas nya dan kami tertawa bahagia.
Tak terasa haru sudah larut aku pun pamit untuk pulang "Hmm kayak nya langit udah gelap aku pamit pulang dulu yaa"
"Ia Lev selamat malam,sekali lagi selamat ulang tahun ya"
Sesampai di rumah aku senyum senyum sendiri , ibu bertanya "Hei Levi kenapa kamu ini senyum senyum sendiri kayak orang lagi jatuh cinta aja "
Aku tidak menghiraukan Ibu dan masih tersenyum saja.
Lamunanku membayangkan saat-saat bersama Anna tiba-tiba terhenti oleh suara dering ponsel yang mengejutkan. Kulihat ada nama Anna di layar ponselku. Aku senang bukan kepalang mengetahui Anna mengirimkan sebuah pesan singkat.
Aku langsung membuka pesan itu dengan tidak sabar.
"Levi, kamu sudah sampai di rumah?
"Sudah :)", balasku singkat.
Pesan itu lalu berlanjut...
"Levi, terimakasih ya sudah meluangkan waktu untuk datang ke rumahku :)", balas Anna.
"Sama-sama, Anna. Aku juga berterimakasih karena ternyata kamu mau mengisi waktu bersamaku hari ini :)"
"Aku sama sekali tidak keberatan, karena....aku sangat bahagia bisa mengisi waktu bersamamu."
"Aku juga...sekarang sudah pukul 11 malam. Sebaiknya kamu beristirahat, Anna. Selamat malam dan selamat beristirahat :)"
"Selamat malam juga, Levi. Sampai jumpa besok :)", balasnya mengakhiri pesan.
To be continued
Previous : Prologue