Popular Post

Posted by : Story Liner Senin, Januari 18, 2016


“ Cita dan cinta bukanlah dua sisi koin yang dapat dipilih salah satu sisinya, keduanya  sama-sama layak untuk dipertahankan dan diperjuangkan.”

.

.



“Levi, cepat bangun! Nanti kau telat sekolah.” kudengar suara samar dari luar kamarku. Aku duduk tersentak mendengar itu. Kulihat jam dinding kamarku, 06.30. “Sial,” gerutuku. Dengan berlari aku masuk ke kamar mandi secepatnya agar tak terlambat.
Aku berlari menuruni tangga dan langsung menuju pintu keluar.
“Levi! Kau harus sarapan,” teriak ibuku dari ruang tamu.
“Aku telat. Aku pergi dulu,” aku teriakan padanya sambil berlari keluar rumah.
Aku berlari menyusuri jalan setapak. Mobil dan motor berlalu lalang.Tak seorangpun menoleh ke arahku, sepertinya pemandangan siswa yang terlambat merupakan hal biasa bagi mereka. “Coba aku boleh bawa kendaraan,” pikirku sembari berlari.
Tak pernah kukira akan selega ini saat kulihat sekolah di kejauhan, namun semua berubah saat kuliat pak satpam menutup gerbang.
“Tunggu!” aku teriakan dan berlari sekuat tenaga memasuki sekolah. Namun, yah, memang nasibku sial ia menutupnya.
“Pak tolonglah aku biarkan saya masuk,” ucapku padanya dengan nada memelas.
“Tidak bisa, toh, nak. Kamu telat. Sudah aturan gerbang tutup jam 07.00. Selain itu ini sudah sekian kalinya kau telat.”

               Aku tetap memohon-mohon padanya. Ia akhirnya membiarkan aku lewat setelah sepuluh menit memohon-mohon padanya. Mungkin ia kasihan melihatku menunggu di depan gerbang. Aku terus berlari sampai ke kelas. Koridor sekolah sudah kosong, karena jam pelajaran telah dimulai. “Tolong jangan ada guru. Tolong jangan ada guru,” ucapku berkali-kali dalam hati sambil berlari. Kumasuki ruang kelas dan berteriak gembira saat aku sampai dan menyadari tak ada guru di dalamnya.
Dengan napas terengah-engah aku duduk di bangkuku mengabaikan tatapan aneh dari teman-temanku, setelah mendengarku berteriak. Aku bersandar sambil mengatur napasku agar kembali tenang. Jantungku masih berdebar-debar dari berlari dari rumah ke sekolah.
“Kau terlambat lagi. Setidaknya hari ini belum ada guru,” ucap Anna. Ia tersenyum melihatku yang masih terengah-engah. Anna adalah salah satu temanku dari kecil, dan orang tua kami pun teman baik. Kami sering menghabiskan waktu bersama. Kuingat jelas ibuku dan almarhum ibunya berharap kami menjadi pasangan suatu hari. Tentu saja ide itu kami tertawakan. Tidak mungkin kami seperti itu. Anna lebih mirip adikku sendiri, ketimbang sahabat.
“Salahkan alarm dikamarku yang tidak cukup bekerja keras membangunkanku.”
“Bukankah itu karena kau tidur seperti mayat?”
“Mayat itu mati bukan tidur.”
“Aku tidak bilang mereka tidur. Aku bilang kau tidur seperti mereka.”
“Seperti mati maksudmu?”
“Kau itu bisa tidur melalui topan dan badai.”
“Tidak, kau berlebihan,” kukatakan pada Anna sampai menggeleng kepala.
“Terserah,” ucapnya dengan nada tak peduli. “Kau memang begitu, kok,” ucapnya sebelum mengalihkan perhatiannya ke depan ketika guru masuk. Mengabaikannya guru itu, kubuka bukuku dan mulai mencoret-coret buku itu.

********************************************************************************
Aku meletakkan pensilku di atas meja dan memandang puas hasil coret-coretanku. 'Sampah', begitu Anna selalu menyebutnya. Aku hanya menanggapinya dengan tertawa, aku tahu dia iri dengan bakat menggambarku, hahahaha.

"Levi!"

Aku tersentak kaget saat mendengar namaku dipanggil Pak Amir. Celaka, guru ini kan guru yang paling sensitif dengan anak laki-laki, tapi paling ramah dengan anak perempuan. Dia pasti melihat aku cengengesan dan tidak memperhatikan penjelasannya tadi. Aku benar-benar celaka.

"Kamu ini... saya perhatikan dari tadi kamu cengar-cengir cengar-cengir.. memangnya penjelasan saya lucu ya? Coba kamu maju, kerjakan soal di depan!" bentaknya galak.

Tuh kan. Apa kubilang, aku benar-benar celaka. Pelajaran Matematika sudah menjadi musuh bebuyutanku sejak aku mengenal apa itu matematika. Aku meringis menatap papan tulis, mendadak perutku sakit.

"Nih," suara Anna yang terdengar seperti suara malaikat penyelamat dari surga. Kulirik dia yang tengah menyodorkan buku latihannya ke arahku dan kulemparkan senyumku yang paling memelas. "Hehehehe.. thanks Ann! I love you pokoknya," kataku asal yang langsung membuat raut wajahnya berubah sinis.

"'I love you' gundulmu!" makinya tertahan, sebelah tangannya terangkat seolah ingin memukul kepalaku. Aku sudah siap menangkis 'serangan'nya kalau suara Pak Amir tidak menggelegar lagi, "LEVI NATHANIEL!!!!! Kamu tidak dengar ya saya suruh apa tadi?!!"

"Denger, Pak. Denger.. kan saya belum budek," kataku ringan sambil melangkahkan kakiku ke depan kelas dengan membawa buku latihan Anna tentunya.

"Pinjem buku siapa kamu?" tanya Pak Amir sinis. Matanya yang dibingkai kacamata kuno jaman penjajahan Belanda menyipit ke arah sampul buku yang kupegang, seolah ingin membaca nama siapa yang tertera disana. Aku mendengus. "Buku saya dong, Pak! Masa buku mama saya!" kataku kesal.

"Mana coba sini saya lihat!" kata Pak Amir sambil menarik buku itu dari tanganku. Mati aku!

"Annastasia Ciputra.. oh, jadi nama kamu sudah berubah jadi Annastasia Ciputra? Kok saya gak tahu? Sudah potong kambing buat syukuran ganti nama?" sindir Pak Amir terang-terangan sambil membaca nama Anna di sampul bukunya.

Sial. Kalau sudah begini berbohong pun percuma. Tapi bukan Levi namanya kalau tidak bisa berkelit. "Heheheehe, tadi itu... salah ambil Pak! Iya, salah ambil. Saya gak sengaja ketarik bukunya Anna." kataku.

'Plak'

Aku meringis saat Pak Amir memukul pundakku dengan buku itu geram. "Kamu ini!" bentaknya sebal. "Sudah sana! Duduk kamu!" lanjutnya. Pria tua itu lalu berjalan ke meja Anna dan dengan tersenyum berkata dengan manis, catat ya, dengan manis!!

"Anna, lain kali kalau anak nakal ini mau pinjam buku kamu, jangan dikasih! Kalau dia macam-macam, bilang saja sama saya, mengerti?"

Kulihat Anna melirikku sekilas sebelum tersenyum tipis kepada Pak Amir. "Iya, makasih Pak," katanya pelan sambil menerima buku latihannya.

"Dasar tua bangka!" makiku saat Pak Amir sudah jauh di meja guru. Anna menoleh menatapku. "Lagian kamu sih," katanya geli.

"Aku?"

Anna mengangguk. "Iyalah, siapa lagi? Udah, mau nyalin gak? Ntar kalo dipanggil lagi biar kamu bisa bawa buku punya Levi Nathaniel, bukan Annastasia Ciputra lagi," katanya sambil mendorong buku latihannya ke arahku. Tanpa berpikir dua kali langsung saja kusalin semua yang ada di lembar putih bergaris itu. Tidak perlu repot-repot menanyakan ini benar atau salah karena Anna pasti benar. Aku sudah mengetahui itu sejak aku mengenalnya karena Annastasia Ciputra selalu menjadi dewi penolong Levi Nathaniel.
************************************************************************************
Setelah pelajaran matematika,selanjutnya adalah pelajaran fisika, dan kami pun bergegas pergi ke laboratorium fisika untuk materi praktikum.

Di sela-sela perjalanan menuju laboratorium, aku pun berterima kasih kepada Anna atas bantuannya tadi.

"Anna, makasih banyak ya tadi sudah minjemin buku latihannya."
"Haha, udah nggak usah repot-repot bilang makasih. Kau juga sih yang salah, menggambar di buku seperti kerasukan, tidak sadar lagi terhadap keadaan di sekitar."
"Yah, kau tahu itu hobiku. Mau bagaimana lagi?"
"Hobi sih hobi, tapi jangan sampai lupa dengan pelajaran. Kau tahu sendiri, kita sudah mau ujian nasional."
"Iya sih, tapi kan itu masih empat bulan lagi, masih ada waktu."
"Kau itu, diberi tahu malah menganggap remeh. Jangan sampai kau tidak lulus saja dengan mulut besarmu itu," gerutu Anna sembari mempercepat langkah menuju laboratorium fisika. Aku pun hanya tertawa dan kemudian mengejarnya.

Anna adalah anak yang pintar dan rajin, berbeda denganku yang bodoh dan malas. Tapi tetap saja kami bisa bersahabat. Jika diibaratkan sebagai koin, kami seperti mewakili sisi-sisi koin itu. Meskipun tidak memandang arah yang sama, tapi tetap saja merupakan satu kesatuan.
************************************************************************************
Anna masih berjalan di depanku. Aku melihat dia dipanggil oleh Sella, teman karibnya. Dari kejauhan, aku menatap Anna. Aku mengeluarkan sebuah koin dari kantongku. Ya, koin ini adalah lambang persahabatan kami, seperti yang telah aku katakan sebelumya, bahwa kami adalah sebuah kesatuan walaupun memandang arah yang berbeda. Melihat koin yang kugenggam erat dari tadi mengingatkan aku kejadian 10 tahun yang lalu, saat pertama kali aku dan Anna bertemu.
10 tahun yang lalu ketika liburan menjelang kenaikan kelas aku berpartisipasi dalam sebuah acara perkemahan pramuka  di Palembang yang bertempat di Punti Kayu. Suatu siang, ketika aku sedang berkeliling di tengah Punti Kayu, aku mendengar sebuah suara.
“Tolong.. Siapapun.. Tolong..”
Aku segera berlari kearah rintihan tersebut. Ternyata suara itu berasal dari seorang anak perempuan.
“Hai.. Namaku Levi, kau siapa? Apa yang terjadi?”
“Namaku Anna, lututku tidak bisa bergerak, sakit sekali.. Tadi aku terjatuh saat dikejar oleh kera liar” ujar anak perempuan yang bernama Anna tersebut.
“Oh.. Tenang saja, aku akan membantumu. Aku punya kain di sakuku, semoga kain ini membantu” kataku. Aku mengeluarkan sebuah kain dan mengikat lututnya dengan kain tersebut untuk menghentikan pendarahan. Aku lalu menjulurkan tanganku, “Ayo, pegang tanganku”.
Anna meraih tanganku, dan aku membawa Anna ke pusat perkemahan. Sejak pertemuan itu, kami menjadi sahabat yang sangat akrab. Bahkan kami menerima piagam persahabatan dari ketua perkemahan. Di akhir acara perkemahan itu, Anna mendatangiku dan memberikan aku sebuah koin.
“Anna, kau tidak perlu membayarku atas bantuan yang aku berikan waktu itu”
Anna tersenyum, lalu berkata, “Bukan. Ini adalah sebuah jimat. Ibuku memberikannya padaku sebagai jimat keberuntungan. Tapi melihat apa yang terjadi padaku waktu itu, sepertinya jimat ini tidak berfungsi padaku. Mungkin jimat ini berfungsi lebih baik padamu, Levi. Ambillah, anggap aja ini ungkapan terimakasihku”
“Baiklah, akan kusimpan koin ini dengan baik. Terima kasih ya”
Ketika tahun ajaran baru,tak kusangka ternyata aku sekelas dengan Anna,ia anak pindahan dari luar kota rupanya.Aku pun menjadi sahabat yang akrab dengan Anna sampai sekarang. Aku selalu membawa koin jimat tersebut kemana-mana.
Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. Ternyata Steven, “hei Levi! Apa yang kau pikirkan dari tadi? Nanti kita terlambat pergi ke laboratorium Fisika”
“Ah! Maaf.. Kepalaku sedikit pusing.. Sebaiknya kita segera pergi.. Ayo..” Kataku sembari memasukkan koin tersebut ke kantongku. Aku berlari menyusul Anna yang mungkin sudah sampai di Laboratorium Fisika.


To be continued.......

 Next : School Life

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Storyline - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan - Edited by StoryLiner -