Popular Post

Posted by : Story Liner Kamis, Juni 13, 2013

Hilangnya Sahabat

Suasana pagi ini begitu sejuk dan dingin. Hari ini adalah hari Senin di pertengahan bulan Juli, hari pertama tahun ajaran baru dimulai. Aku sedang duduk di bangku taman sekolah, bersantai membaca komik “Detective Conan” yang baru saja kubeli, sembari menunggu bel masuk sekolah. Aku sendiri adalah murid kelas 2 di Silverice High School, atau lebih dikenal dengan sebutan “Sekolah Perak”.
Bel tanda masuk pun berbunyi. Aku melangkah masuk ke kelas baruku, kelas 2 A untuk jurusan Science, Logic and Analysis Art, atau disingkat SLAA Class. Sekolah ini sendiri memiliki 5 jurusan yang bisa dipilih pada saat memasuki kelas 2, yang dibatasi oleh nilai dan kemampuan selama belajar di kelas 1,  yaitu Psychological Art, Social Art, Language Skill Art, Martial Art, dan jurusan yang kupilih, SLAA Class.
Aku sendiri sebenarnya memilih SLAA Class bukan hanya karena nilaiku yang bagus pada mata pelajaran Science, tetapi juga karena aku tertarik dengan proyek kerja di SLAA Class, yaitu Logic and Analysis Investigation. Dalam proyek ini, seluruh siswa akan dibagi dalam kelompok beranggotakan 3 orang, dimana mereka harus memecahkan kasus-kasus kriminal maupun kejadian yang aneh dan sulit untuk dipecahkan. Kasus-kasus ini sendiri merupakan rekayasa belaka untuk tujuan pendidikan dan disiapkan oleh para guru SLAA Class dengan kerjasama khusus dari pihak kepolisian bagian penyelidikan. Sungguh menarik bagiku yang gemar membaca karya tulis fiksi detektif, atau lebih tepatnya, aku yang bercita-cita menjadi detektif.
Kelasku begitu tenang saat wali kelas untuk kelas 2 A masuk. Ia adalah Pak Andi Hadisurya. Tubuhnya yang tegap berisi, rambutnya yang cepak, serta wajahnya yang terlihat menyeramkan, ditambah ia adalah orang yang tegas dan pemarah, membuat ia ditakuti oleh seluruh siswa. Siapa sangka guru yang terkenal dengan julukan “Jenderal” ini menjadi wali kelas kami?
3 jam pertama diisi dengan kegiatan biasa yang dilakukan pada awal tahun ajaran baru, yaitu perkenalan diri dan pemilihan ketua kelas. Setiap anak maju memperkenalkan dirinya, mulai dari nama, kelas sebelumnya, hingga alamat rumah. Setelah perkenalan, kegiatan pemilihan ketua kelas pun dimulai. Adapun Devina Selphie Laurenza Revina, menjadi ketua kelas kami. Tidak heran, ia sendiri adalah peraih nilai ujian tertinggi saat kelas 1, dan anggota tetap Organisasi Siswa di Sekolah ini, dimana semua anggotanya haruslah memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Selain itu ia juga adalah seorang perempuan yang cantik dan manis, serta ramah dan sopan dalam bersikap.
Sesaat setelah pemilihan ketua kelas selesai, bel tanda istirahat pun berbunyi. Verdo, sahabatku dari kelas 1 yang kini berada di kelas yang sama lagi denganku, datang menghampiriku.
“Hoy, Regan. Gue gak nyangka kita satu kelas lagi. Ada di kelas yang sama dari 5 kelas jurusan SLAA Class tanda bahwa kita ini bener-bener soulmate sejati, bro.”
“Jadi? Gue harus bilang waw gitu sama lo? Wkwk.”
“Ah, sialan lo. Gue serius lo malah ketawa. Eh, ke kantin yuk, beli snack sambil temenin gue liat-liat pemandangan, if you know what  I mean, wkwk.”
“Eleh, mentang hari pertama masuk sekolah, lagi semangat aja nih “berburu” yang seger-seger. Wkwkwk.”
“Udah, ikut aja. Keburu bel masuk nanti.”
Sambil bersenda gurau, kami berdua pergi ke kantin. Aku pergi membeli sebungkus roti isi kesukaanku, sementara Verdo mulai beraksi mendekati adik-adik kelas 1 yang baru akan beradaptasi dengan sekolah ini. Aku sebenarnya merasa kasihan dengan adik-adik kelasku yang cantik dan polos itu. Didekati oleh laki-laki tak dikenal yang dengan percaya diri mengaku dirinya adalah kembaran Kyuhyun SuJu, padahal memiliki wajah yang lebih mirip dengan monyet yang tahun lalu kutemui di kebun binatang. Yah, dengan tubuh yang kurus, pendek, berambut gondrong, berkulit cokelat tua dan berhias banyak jerawat di wajah, wajar jika aku merasa kasihan dengan adik-adik kelasku yang berbeda 180o dengannya. Aku pun dengan penuh rasa iba pergi ke kelas terlebih dahulu, tak sanggup melihat pemandangan seekor kutu busuk yang ingin menarik perhatian kupu-kupu.
Bel tanda selesai istirahat berbunyi, Verdo pun kembali ke kelas dengan wajah lesu, pertanda bahwa ia gagal menjalankan aksinya. Awalnya aku tak terlalu memusingkannya karena itu hal yang biasa kulihat. Biasanya, setelah melihat perempuan yang cantik-cantik lagi, pasti wajahnya langsung ceria bagaikan bunga mawar yang mekar di taman bunga, meskipun dalam kenyataan lebih mirip bunga bangkai. Tetapi hingga pulang sekolah pun wajahnya tetap lesu, seakan semangat hidup telah keluar dari tubuhnya. Aku pun sebagai seorang teman, penasaran dan menghampirinya.
“Eh, bro. Lo kenapa? Dari tadi di kelas suram banget. Udahlah, cewek itu banyak. Di luar sekolah ini juga ada. Tenang aja.” Hiburku.
“Ini bukan masalah cewek tadi, gan. Masalahnya lain. Kalo lo mau pulang duluan,   pulang aja. Gue ada masih ada urusan di sekolah.”
“Tumben. Urusan apaan? Baru hari pertama sekolah juga kok ada urusan segala?”
“Udahlah, lo pulang aja. Kalo nungguin gue bakal lama.”
“...”
Dengan heran aku pun melangkah pulang. Tidak biasanya Verdo bersikap dingin begini. Dilihat dari wajahnya pun, aku yakin bahwa urusan yang ia bicarakan bukan masalah perempuan. Ia terlihat begitu lesu dan seperti telah melakukan kesalahan yang berat. Semakin lama aku memikirkannya, semakin penasaran pula diriku. Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke sekolah dan mencari tahu apa yang terjadi dengan Verdo.
Sekolah sudah tidak terlalu ramai saat aku tiba disana. Aku menunggu disana sekitar 1 jam lamanya, namun sudah tidak ada tanda-tanda Verdo berada di sekolah. Aku pun melangkah pulang dengan hati yang masih penasaran. Namun, tiba-tiba terdengar suara teriakan, seakan-akan sesuatu yang mengerikan telah terjadi. Entah mengapa aku langsung teringat Verdo. Segera saja aku berlari menuju ke asal suara.
Suara teriakan itu ternyata berasal dari ruang redaksi majalah sekolah. Saat aku sampai disana, sudah ada 3 orang siswi yang mendahuluiku. Mereka adalah Devina, ketua kelas di kelasku, dan 2 orang perempuan yang jika aku tidak salah ingat, adalah 2 orang adik kelas yang saat istirahat tadi pagi didekati Verdo.
Mereka terlihat syok dan kaget saat melihat ke dalam ruangan itu. Aku pun memberanikan diri melihat kedalam. Kakiku lemas, tanganku bergemetar, mataku pedih. Ternyata yang ada di dalam sana adalah tubuh Verdo yang sudah tidak bergerak lagi, dengan darah mengucur dari kepalanya. Perlahan kudekati tubuhnya, ternyata ia sudah tidak bernafas. Sahabat yang kumiliki sejak tahun lalu itu kini telah tiada. Aku menangis tersedu diantara kerumunan orang yang sudah mengelilingi ruangan itu. Pak Andi datang melihat tubuh Verdo, dan segera menelepon kenalannya di kepolisian.
  
*****

Tidak lama, polisi dan ambulans pun datang. Tubuh Verdo pun diangkat dan dibawa ke rumah sakit untuk di autopsi. Dugaan sementara oleh tim penyelidik dari kepolisian ialah bahwa Verdo dibunuh dengan dipukul di bagian kepala dengan keras, sehingga otak mengalami kerusakan hebat dan jantung berhenti berdetak. Terbukti dari adanya bekas cakaran di tubuh dan memar di kepala Verdo, menandakan bahwa ia sempat melawan dan dipukul oleh si pelaku. Senjatanya sendiri diduga adalah tripod kamera yang hilang dari ruangan itu. Selain itu juga ditemukan bahwa tangan Verdo menyentuh sebuah kamera yang biasa digunakan oleh tim majalah sekolah untuk dokumentasi, serta ditemukan sebuah kode yang diyakini adalah pelaku pembunuhan yang ditulis oleh Verdo, sesaat sebelum dipukul. Kode itu ditemukan tertulis di kertas kecil di samping tubuhnya, ditulis dengan huruf cetak, “fresh and strangers”.
Atas dasar kode yang ditemukan itulah, 2 orang perempuan yang sempat didekati Verdo menjadi tersangka sementara, sebelum diselidiki lebih lanjut lagi. Sementara itu, Devina, terlihat menangis tersedu-sedu. Mungkin karena syok melihat hal yang mengerikan ini. Selain mereka bertiga memang tidak ada saksi lain yang ada di tempat, sebelum aku sampai disana. Tetapi ketika melihat wajah 2 perempuan itu, aku merasa janggal. Tidak ada indikasi rasa takut di wajah mereka, dan mereka benar-benar merasa yakin bukan mereka yang membunuh Verdo, sementara bukti yang ada mengindikasikan merekalah yang menjadi tersangka.
Aku pulang dengan mata bengkak. Tidak sepatah kata pun kuucapkan kepada ayah dan ibuku saat mereka bertanya mengapa. Malam itu aku mengurung diri di kamar, mengenang masa-masa aku dan Verdo bersenda gurau dahulu di kelas 1. Aku masih ingat pertama kali bertemu dengannya di kelas 1 F. Dia duduk disebelahku, dan mengajakku berkenalan dengan gayanya yang seperti Spongebob, seakan tahu bahwa aku memerlukan hiburan karena menyadari fakta bahwa aku sendiri dari Junior High School-ku yang terdaftar di kelas itu. Sejak saat itulah aku mulai tertarik dengan sifatnya yang lucu meskipun sedikit genit dengan perempuan dan akhirnya menjadi sahabat.
Setelah bernostalgia, aku pun tertidur di kamarku, dengan mata bengkak karena menangis dan masih lengkap berseragam sekolah. Pagi harinya aku kembali mengingat hari-hari sekolah saat Verdo masih hidup. Aku ingat ketika pagi hari ia selalu menyalin pekerjaan rumahku jika ia lupa mengerjakannya. Mungkin karena terburu-buru, tulisannya jadi sekacau benang kusut. Bahkan ketika ia mengisi angket penjurusan pun, yang harusnya ditulis mengguanakan huruf cetak, ia menulisnya dengan menggunakan huruf bersambung karena tak terbiasa dan tulisannya menjadi jelek jika menggunakan huruf cetak.
“Itu dia! Tulisan Verdo jelek kalau menulis dengan huruf cetak, bahkan sampai nggak kebaca. Sementara kode yang ditemukan terlihat jelas dan mudah dibaca!”
Kecurigaan dan rasa penasaranku kembali membara disertai rasa dendam ingin mengungkap siapa sebenarnya pelaku dibalik semua ini. Terbukti bahwa kode yang ditemukan itu palsu, dan kemungkinan dibuat oleh pelaku untuk menghapus jejak. Akhirnya semua kecurigaanku berlari ke arah Devina. Selain 2 perempuan adik kelas itu, hanya dialah yang berada di tempat kejadian. Namun aku ragu. Apakah mungkin murid yang terkenal akan kebaikannya itu membunuh? Lagipula aku juga melihat ia menangis karena syok atas peristiwa itu.

*****

Berita duka atas meninggalnya Verdo pun diumumkan oleh sekolah. Seluruh murid di kelasku terkejut, karena sebagian besar dari mereka memang sudah pulang saat kejadian itu terjadi. Saat kulihat Devina, ia terlihat kembali menangis. Keraguan menyelimutiku untuk menuduh Devina. Selain karena pribadinya yang terkenal baik, tidak ada bukti yang menunjukkan dialah pelakunya.
Siang hari sepulang sekolah aku kembali menghampiri ruang redaksi itu, untuk menghadiri permintaan polisi yang ingin menanyakan keterangan kepadaku. Pintu ruangan itu masih terbuka lebar hingga aku pun kembali membayangkan tubuh Verdo yang tergeletak kaku di dalamnya. Diam-diam kumasuki ruangan itu. Berusaha mencari-cari kalau saja ada kode lain yang ditinggalkannya. Setelah beberapa lama, aku tak berhasil menemukannya, sementara polisi terlihat sudah datang ditemani oleh pak Andi untuk kembali memeriksa TKP.
Aku pun dengan cepat keluar agar tidak ketahuan menyusup ke dalam garis polisi. Tiba-tiba aku menjatuhkan sebuah buku. Saat aku mengembalikannya ke rak buku, aku tanpa sengaja membaca judul buku itu, yaitu “Belajar Menggunakan Kamera DSLR”. Tiba-tiba aku teringat, kalau tidak salah Verdo memegang sebuah kamera saat ditemukan, dan kamera itu adalah kamera DSLR. Aku pun mulai merasakan kejanggalan, apakah maksud Verdo memegang kamera itu? Apakah Verdo sempat memfoto tersangka di kamera itu?
Aku pun bertanya kepada polisi yang baru saja datang, apakah ditemukan foto tersangka di dalam kamera DSLR tersebut. Polisi menjawab tidak. Tentu saja, jika memang difoto, tentu pelakunya akan sadar dan menghapus foto itu. Kembali aku berpikir keras apa maksud dari dipegangnya kamera itu oleh Verdo.
Saat sedang berpikir, tiba-tiba Devina yang juga datang untuk dimintai keterangan oleh polisi menyadarkanku. Aku kaget saat mengetahui siapa pelakunya. Ya, DSLR adalah inisial dari nama lengkap Devina, yaitu Devina Selphie Laurenza Revina. Tapi menyampaikannya langsung kepada polisi bisa saja aku dianggap mengacau. Kuputuskan segera aku sampaikan dugaanku ini kepada pak Andi. Pak Andi hanya mengangguk tanda mengerti dan menjelaskannya kepada polisi. Ia juga meminta tolong kenalannya untuk menyudutkan Devina saat dimintai keterangan.
Akhirnya interogasi pun selesai dengan hasil Devina terbukti bersalah. Kepada polisi ia menyerah karena tersudut dan mengakui perbuatannya. Menurut perkataan polisi, ia melakukannya karena cemburu dengan 2 orang adik kelas kami karena kemarin didekati oelh Verdo. Ya, ternyata Devina telah lama menyimpan rasa pada Verdo. Ia sesaat setelah Verdo menggoda 2 adik kelas itu, menghampirinya dan mengatakan bahwa ia menyukai Verdo, dan mengatakan agar Verdo pergi ke ruang redaksi itu pada saat pulang sekolah. Di saat itulah ia memukul kepala Verdo menggunakan tripod kamera yang ada disana.
Devina pun ahirnya dinyatakan sebagai tersangka tetap, dan 2 orang adik kelasku itu dibebaskan. Polisi terlihat meminta maaf kepada mereka. Aku masih kaget tak percaya bahwa Devina pelaku sesungguhnya. Sementara itu pak Andi tersenyum kepadaku, di bawah teriknya sinar matahari.

*****


1 tahun berlalu sejak kejadian itu. Devina sudah keluar dari pusat rehabilitasi dan kembali bebas, meskipun ia telah dikeluarkan dari sekolah ini. Sementara itu,  aku mendapat nilai tertinggi dalam bidang analisis karena peranku dalam membantu polisi mengungkapkan kematian Verdo. Aku tidak merasa senang, tapi aku merasa kesal, mengapa aku harus mendapat nilai tertinggi atas kasus kematian sahabatku? Sungguh ini menyakiti hatiku. Kembali aku mengenang Verdo, ulahnya yang lucu dan genit terhadap perempuan, mengingatnya saja sudah membuatku sangat sedih. Kini aku hanya bisa berharap 1 hal, jangan sampai ada lagi orang di dekatku yang benasip sama seperti dia. 


By : admin-Frexan

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Storyline - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan - Edited by StoryLiner -